Sejarah

LEGENDA ASAL-USUL DESA SUKOSARI

JEJAK TUJUH SAHABAT DAN PERTARUNGAN DUA DUNIA

Disadur dan ditulis Kembali oleh: Asep Indra Pramayudha

 

Pendahuluan: Harmoni di Ujung Jawa Timur

Desa Sukosari, merupakan sebuah wilayah yang kini menjadi Kecamatan Sukosari di Kecamatan Bondowoso, Provinsi Jawa Timur. Wilayah Sukosari dikenal sejuk dan subur, dengan penduduk yang hidup dari bertani dan berkebun. Sukosari tidak hanya menyimpan keindahan alam, tetapi juga legenda yang hidup dari tutur para sesepuh dan bisik nisan leluhur di makam-makam yang disebut Bujuk.

Kabupaten Bondowoso sendiri adalah Kawasan multikultural yang dihuni oleh dua suku utama: Jawa dan Madura. Perpaduan budaya keduanya tidak hanya terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi juga dalam bahasa dan nama-nama tempat. Sebagai contoh, kata “Wonosari” dalam Bahasa Jawa akan berubah menjadi “Bensareh” dalam pengucapan Madura. Begitu juga “Sukosari” yang oleh masyarakat Madura disebut “Sokosareh”. Dari sinilah muncul dua versi cerita tentang asal-usul desa tersebut, yang kemudian menyatu dalam satu legenda besar karena secara historis pernah menjadi wilayah Kerajaan Sentong yang masuk daerah kekuasaan Kerajaan Blambangan di era setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit.

Perkembangan Cerita: Tujuh Sahabat Mencari Tanah Harapan

Ketika Raden Bagus Assra/Ki Ronggo Bondowoso resmi ditahbiskan Bondowoso sebagai kabupaten pada 17 Agustus Tahun 1819 Masehi atau dalam almanak Islam berarti 25 Syawal Tahun 1240 Hijriah, maka di mulailah program perluasan daerah Bondowoso secara masif yang dulu daerah wilayahnya dari Kalisat, Jember sampai Puger.

Mbah Bidas yang bagian dari rombongan dari Ki Ronggo yang membabat tanah Bondowoso di perintahkan memperluas daerah babatan untuk membuka lahan hunian baru sebagian wilayah Bondowoso, maka Mbah Bidas beserta enam orang sahabatnya dari bersepakat mencari tempat yang sejuk dan subur sebagai tempat bermukim. Mereka dikenal sebagai:

1.       Juk Bidas – gesit dan sekatan, sang pemimpin kelompok

2.       Juk Ireng – berkulit gelap, tangguh dan pendiam

3.       Juk Gending – pecinta tembang dan seni suara

4.       Juk Songot – berkumis lebat, tegas dan bijak

5.       Juk Redhuh – keras kepala dan gaduh, namun setia

6.       Juk Tosareh – tak pernah diam, sibuk dengan banyak urusan

7.       Juk Saron – satu-satunya perempuan, putri bangsawaan yang anggun, atau Nyai Roro Jasmani (putri ke 15/putri bungsu dari Raden Bagus Assra) yang kemudian diangkat menjadi wakil wedana sukosari.

Perjalanan membawa mereka melewati Wonosari dan Wonokusumo, dua hutan penuh bunga yang harum dan memikat. Di sinilah peristiwa penting itu terjadi: Juk Saron, karena terlalu terpesona dengan keindahan bunga, tersesat dan terpisah dari rombongan.

Pencarian panjang pun dilakukan hingga akhirnya mereka menemukannya bersandar dibawah pohon besar, memeluk bunga di tangannya. Tempat itu begitu memikat, dan mereka pun sepakat untuk menetap. Namun, ternyata tak semudah itu.

Konflik dan Klimaks: Pertarungan Dua Alam

Tanah yang mereka temukan itu rupanya berada di bwah kekuasaan makhluk dari alam lain: seorang raja bangsa jin Bernama Jhu’ Durahman. Ia tak senang dengan kehadiran manusia di wilayah kekuasaannya. Juk Bides, sebagai pemimpin rombongan, mencoba berdialog dan meminta izin untuk bermukim. Namun, negosiasi tak berjalan mulus.

Akhirnya, mereka sepakat menyelesaikan perkara dengan a du kesaktian. Pertarungan sengit pun terjadi antara Juk Bides dan Jhu; Durahman. Langit mendung, petir menyambar, tanah bergetar. Namun taka da pemenang. Keduanya sama kuat.

Di tengah ketegangan itu, Jhu’ Durahman menunjukkan kebesaran hatinya. Ia mengakui keberanian dan niat baik Juk Bides. Dengan penuh hormat, ia menyerahkan wilayah itu kepada manusia untuk dipimpin oleh Juk Bides. Maka, dimulailah Pembangunan peradaban baru.

Namun masalah baru muncul, tanah yang mereka pilih ternyata kekurangan sumber air. Juk Bides pun melakukan tapa dan bermunajat, hingga mendapatkan petunjuk untuk pergi ke Selatan, ke wilayah Sokleh, tempat tinggal penguasa lain Bernama Jhu’ Kartah, yang memiliki sumber mata air melimpah yang sekarang wilayah “Sokleh”.

Penyelesaian: “Aing Tang Soko Sareh”

              Dengan penuhharap, rombongan Juk Bides menemui Jhu’ Kartah. Beruntung, penguasa Sokleh itu menyambut mereka dengan tangan terbuka. Ia mengizinkan mereka membawa air dari wilayahnya. Maka dimulailah pekerjaan besar. Membuat aliran Sungai kecil (sok-sok) yang menghubungkan Sokleh dengan tempat baru mereka.

Jhu’ Durahman, yang kini menjadi sekutu, membantu mengali saluran bersama para pengikutnya dari bangsa jin. Saat menentukan ara aliran air, Juk Bides menancapkan selembar janur kelapa ke tanah, lalu mengucapkan, “Hei.. aing tang soko sareh!” (Air ini berasal dari Sokleh/Sareh). Kalimat itulah yang kelak menjadi cikal bakal nama Sokosareh atau Sukosari.

              Aliran air itu  mengalir mengikuti Langkahkaki Juk Bides, Jhu’ Durahman beserta bala mengikuti mengalirnya air tersebut sambil mengikuti arah Langkah kaki Juk Bides melangkah. Setelah peristiwa tersebut daerah yang semula kekurangan sumber air kini telah bisa mencukupi kebutuhannya, karena itulah mereka mulai mendirikan pemukiman,  bercocok tanam, dan memulai kehidupan baru. Sampai hari ini, aliran Sungai buatan itu masih ada dan bermanfaat bagi warga Desa Sukosari Lor.

Penutup: Warisan dan Persatuan, Keberanian, dan Kerja Sama

              Legenda Sukosari Lor bukan sekedar dongeng. Ia Adalah cerminan tentang keberanian manusia menjelajah, ketulusan dalam bersahabat, dan kemampuan untuk berdamai bbahkan dengan makhluk dari alam berbeda. Sukosari bukan hanya lahir dari tanah yang subur, tetapi juga dari jiwa-jiwa yang besar, baik dari dunia manusia maupun jin yang berani melampaui perbedaan demi kebaikan Bersama.

              Semoga semangat tujuh sahabat, kebesaran hati Jhu’ Durahman, dan kemurahan Jhu’ Kartah menajdi Pelajaran abadi bagi generasi Sukosari masa kini dan masa depan.

 

 

;